Skip to main content

Posts

Showing posts from September, 2017

Pelangi di wajahmu

Aku sangat menanti masa itu. Dimana kamu menghampiriku tak lg dg gerimis, melainkan dg hujan deras yg setelahnya diiringi mejikuhibiniunya langit. Menertawakan kisah yg baru saja dilalui. Senyum memoles pipi. Tak lg ada rintik hujan membasahi. Langkahmu diiringi derasnya bahagia. "Hey kak, aku hepi skrg :)" "Beneran dek?" "Iyaaa kak, aku.. bahagia bangeeddd" "Coba bagikan kebahagiaanmu itu pd kakakmu yg satu ini :)" "Ah, dg senang hati qaqaque" Bla bla bla bla... "Aku, boleh peluk kamu dek? Aku bersyukur memilikimu walau serahim bukan takdir kita". ~

Tentang R I N D U

Seperti hujan, katamu Rindu adalah gerimis Yang melebat dimana-mana Mengalirkan kamu Ke dalam anganku Selalu, dan tiba-tiba Terjebak, dan tak pernah pergi selamanya Selalu kembali dalam rasa yang sama Tentang kamu, bak gerimis di musim kemarau Antara aku dan rindu.. Kau lah yang menengahi keduanya Menjadi pemilik sang rasa Tak pernah berlalu, selalu saja begitu Entah kapan rindu ini mengembun Menjadi tetesan temu Agar kembali saling berkasih, seperti kala itu Aku, masih dengan rindu yang sama Seperti waktu itu

Murobbi yang dirindukan

Kasih sayang murobbi terhadap mutarobbinya layaknya kasih sayang ibu terhadap anaknya. Layaknya kasih sayang seekor induk burung jika kita melihat gambar yang telah disediakan. Insting seekor hewan terhadap anaknya yaitu hanya ingin senantiasa memastikan bahwa anaknya baik-baik saja seiring bertumbuh dan berkembang di bawah dekapan cinta sang induk burung. Ia rela memberikan tumpuan batang yang lebih kuat dari pada sehelai daun tipis untuknya berpijak. Ia tak enggan mencari makanan demi melihat buah hatinya tumbuh menjadi burung yang lebih besar. Ada harap di dalamnya. Makin besar si burung mungil, maka makin besar pula kebermanfaatannya sebagai seekor burung kelak. Sepenuh kasih pun ia memberi makan dengan paruhnya tuk si mungil yang tengah menengadah. Sayapnya pun tak sungkan ia bentang lebar. Ada khawatir disana. Kalau-kalau si burung mungil terjatuh atau makanan tak sampai ditelannya. Ia memastikan si mungil dapat makan dengan tenang hingga berucap syukur setelahnya. jika kaki

Rindu dan Perpisahan, Menyelami Hikmah di Balik Kisah 10 Dzulhijjah

Tepat 22 tahun lalu seorang bayi mungil menangis setelah keluar dari rahim ibunya. Ya, ini lazim dilakukan oleh setiap bayi yang lahir ke bumi Allah yang biasa disebut dunia ini, walau tak ku dengar suara merdu tangisan bayi itu. Namun begitulah sunnatullahnya. Seorang bayi lahir ke dunia tidak dengan riang gembira. Tidak dengan canda tawa, karena bicara pun belum sempurna. Apalagi bercanda. Tidak pula dengan senyuman menawan. Apalagi dengan wajah berkerut layaknya orang dewasa yang terbelit banyak hutang, sibuk memikirkan pelunasannya. Bayi mungil itu menangis! Tangisan pertama dalam kehidupannya bukan karna ia lapar. Bukan pula karna haus, atau keinginan duniawi lainnya. Ia menangis karena ia memikirkan amanah yang akan ia emban mulai dari sedetik setelah ia lahir. Amanah sebagai anak dari kedua orang tuanya. Tentu saja amanah yang paling penting adalah amanah sebagai hamba Allah, Rabb yang telah menciptakannya. Melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Demikian tahun-tahun b